Sejak turunnya, sakralitas dan otentitas Al-Quran sudah menjadi incaran. Para kafir Quraisy menjulukinya sebagai dongeng orang terdahulu (asātīr al-Awwalīn) yang diminta Muhammad agar dituliskan, lalu dibacakanlah setiap pagi dan petang. Sekalipun benar itu bukan dari diri Muhammad, melainkan wahyu, mereka berkata ini hanyalah sebatas mimpi kosong (adghaatsu ahlaam)
Pencemaran sakralitas al-Quran terus berlanjut hingga hari ini. Kemasannya mungkin baru namun isinya tak jauh berbeda. Dalam istilah Saliim Abu Ashi, mereka, para pelakunya hari ini persis seperti yang digambarkan al-Quran, yaitu seperti sudah saling berpesan tentang misi ini satu sama lain (lihat Qs. Al-Dzariyat: 53)
Sakralitas Al-Quran Menurun?
Nasr Hamid Abu Zaid, seorang tokoh modernis Mesir berpendapat bahwa yang sakral dari Al-Quran adalah bentuknya yang metafisis atau saat berada di lauhil mahfudz yang tidak diketahui hakikatnya. Al-Quran yang absolut dan sakral tersebut menjadi pudar, relatif dan nisbi saat diwahyukan kepada Nabi dan dipahami oleh umat Islam. (lihat selengkapnya Lā Raiba Fīhi, hal. 65-66 & Qirā’at Al-Nash Al-Dīniy, hal. 108)
Lebih dari itu Abu Zayd juga beranggapan bahwa al-Quran bukanlah Kalamullah. Statusnya sama dengan buku-buku lainnya, yang dikarang oleh manusia, terbentuk dalam konteks budaya dan sejarah, dan sebagai wacana, tidak memiliki makna yang tetap dan baku (Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam, hal. 184)
Ibarat pepatah Arab yang berbunyi “su’ul khuluqi yu’dī” (perangai yang buruk akan menular). Gagasan ini pun tertular di salah seorang tokoh Syiria bernama Thayyib Al-Tizini. Senada dengan Abu Zaid, ia mengatakan bahwa Ketika Al-Quran turun ke Manusia ia tidak lagi bersifat “Ilahiy” melainkan menjadi teks “insaniy”. Hal ini karena teks itu sangatlah “tinggi” dari pemahaman manusia, tabiatnya juga lingkungannya.
Sehingga tatkala turun ke Bumi, al-Quran –sebagaimana isitilah Tizini—terpecah/tersebar diantara pemikiran manusia. Akhirnya lahirlah berbagai makna yang dari berbagai pemahaman juga ijtihad setiap kelompok. (lihat Al-Islām wa Al-‘Ashr, hal. 180)
Pemahaman seperti inilah yang membuat mahasiswa kita berani terang-terangan mencela al-Quran. Sepertihalnya pada Tahun 2004 salah satu mahasiswa Kampus IAIN Yogyakarta pernah meluluskan sebuah Tesis Master yang kemudian diterbitkan menjadi buku berjudul “Menggugat Otentitas Wahyu Tuhan”. Salah satu isinya penulis mencatat:
“Dengan kata lain mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan tuhan yang terdapat di dalam Kalam-Nya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu kini kita dipekenankan bermain-main dengan mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melinkupi perasaan dan pikirian kita” (lihat
Benarkah Demikian?
Jika ingin diringkas poin yang ingin disampaikan adalah, al-Quran hari ini tidak lagi sakral karena telah masuk berbagai pemikiran manusia, baik dari kalangan mufassir termasuk penafsiran Nabi Muhammad. Itu secara eksplisit. Adapun secara implisit mereka ingin menyampaikan bahwa setiap ayat dalam al-Quran bisa menuai penafsiran apapun, dan dari siapapun.
Untuk meruntuhkan klaim ini Syekh Ramadhan Al-Buthi memberikan sebuah logika sederhana. Ia meminta siapapun yang memiliki pemikiran seperti ini untuk membaca dan perhatikan surat Al-Fil.
Kita semua tentu memahami bahwa yang ditunjukan (madlul) dari ayat dalam surat Al-Fil adalah satu kisah sejarah yang pernah terjadi di masa lalu. Kita pun mengetahui bahwa pemaknaan itulah yang diberikan dan ditunjukan oleh surat Al-Fil dari awal hingga akhir surat.
Nah, pertanyaannya, apakah ayat-ayat itu memiliki dalalah (penunjukan) lain –atau katakanlah pemaknaan lain— selain kisah tersebut saat berada di lauhil mahfudz atau sebelum sampai ke kita, sebagaimana yang diasumsikan At-Tizini?
Kalau dijawab ia, artinya satu di antara pemaknaan ayat tersebut –baik saat berada di Lauhil Mahfudz ataupun saat turun ke bumi—ada yang dusta atua bohong. Sebab hal itu bertentangan dengan realita bahwa pemaknaannya hanya satu, tidak lebih.
Karenanya jawabannya adalah tidak, Yakni tidak ada perbedaan antara al-Quran di lauhil mahfudz dan al-Quran setelah turun. Sebab agar kandungan dan pemaknaan al-Quran itu benar, dan surat Al-Fil itu menjadi kisah yang faktual dan ril, maka harus ada keserasian antara makna di setiap fase turunnnya.
Karenanya sekali lagi tidak ada perbedaan antara kedua fase tersebut. itu artinya keduanya sama-sama menyimpan kesakralan sebagai Kalam Allah.
Saat mengatakan al-Quran tunduk pada pemikiran manusia setelah ia turun, seharusnya At-Tizini memahami bahwa teks yang sifatnya informatif (khabariyyah) seperti kisah pasukan Gajah tadi, tidak mungkin menampung kecuali satu makna. Sebab yang dimaksudkan hanyalah kisah itu. Begitupun sejumlah ayat lainnya di al-Quran, seperti ayat tentang keesaan Allah, Kenabian Muhammad, keadaan akhirat yang tidak bisa dimasuki kecuali satu pemaknaan saja.
Itu pertama. Hal kedua, kalau al-Quran saat ia turun tunduk terhadap penafsiran “apapun” sesuai kehendak tiap aliran dan sektenya, sehingga menjadikannya tidak sakral. Maka, apa nilai sebuah perintah dan larangan yang tertera dalam al-Quran dengan berbagai ganjaran dan hukumannya.
Artinya, bukankah perintah itu bisa diartikan semaunya sehingga ia tidak lagi menjadi perintah. Jika demikian, lantas untuk apa al-Quran diturunkan secara gradual selama 23 tahun jika pada ujungnya bisa diartikan semaunya?
Hal ketiga, bagaimana mungkin al-Quran terjadi “perbedaan” dalam masa fase turunnya, padahal di sana al-Quran menekankan dan menegaskan bahwa ia tidak mungkin terjadi pergantian apapun (taghyiir). Al-Quran menegaskan:
“…Katakanlah (Nabi Muhammad), “Tidaklah pantas bagiku menggantinya atas kemauanku sendiri. Aku tidak mengikuti, kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut akan azab hari yang dahsyat jika mendurhakai Tuhanku.” (Qs. Yunus: 15)
Allah pun sudah berjanji bahwa: “Keputusan-Ku tidak dapat diubah dan Aku (sama sekali) tidak menzalimi hamba-hamba-Ku.” (Qs. Qaf: 29)
“Telah sempurna kalimat Tuhanmu (Al-Qur’an) dengan (mengandung) kebenaran dan keadilan. Tidak ada (seorang pun) yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya. Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-An’am: 115)
Ini semua menunjukan bahwa apa yang sudah ditetapkan Allah, baik sebelum atau sesudah turunnya ke manusia, tidak mungkin ada perubahan di dalamnya. Bahkan sekaliber Nabi Muhammad tidak bisa mengubah apapun dari al-Quran.
Terakhir, sebagai sebuah konklusi ada dua poin yang perlu diamini bersama. Pertama, al-Quran adalah kalam Allah dan kesakralannya tidak terbatas saat ia di lauhil mahfudz, namun hingga kini. Penafsiran para mufassir tidaklah mencederai apapun dari al-Quran.
Kedua, lafadz dan makna al-Quran datangnya dari Allah. Adapun perbedaan penafsiran terhadap al-Quran, sebagaimana yang tergambar dalam buku-buku turats, tidaklah terjadi pada SEMUA LAFADZ AL-QURAN. Terlebih perbedaan itu bukanlah berdasarkan hawa nafsu atau selera orang yang menafsirkan, melainkan dengan pertimbangan berbagai ilmu pengetahuan yang menjadi syarat dalam menafsirkan al-Quran.
*Penulis adalah Direktur SMP Pesantren At-Taqwa Depok, juga Mahasiswa Pascasarjana Ilmu AL-Quran dan Tafsir Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), Ciputat
Divisi: Pendidikan
Author: Bana Fatahillah
Sumber referensi: Beberapa buku