Di sebuah kolom komentar Pak Gembul mengejek lulusan Pesantren. Ia mengatakan: “benar sekali, anak pondok g bisa berbuat apa-apa buat peradaban. Bahkan ga bs mandiri menghasilkan uang”
Itu benar. Jangankan buat peradaban, buat dirinya sendiri saja kadang masih bingung. Namanya juga masih santri di Pondok. Apalagi cari uang. Yang ada santri itu nunggu kiriman orang tua.
Itu kira-kira jawaban bercandanya. Berikut jawaban seriusnya.
Coba teliti buku-buku sejarah nasional. Di sana Anda akan mendapati fakta bahwa Pesantren dan santri-lah tonggak kemajuan peradaban. Dalam konteks Indonesia, berbicara pesantren berarti berbicara masa depan bangsa.
Tahun 1930-an Dr. Soetomo pendiri organisasi Budi Oetomo mengunggulkan sistem Pesantren dari pada sistem sekolah modern. Menurutnya pesantren tidak hanya mengajarkan ilmu agama, tapi juga ilmu kehidupan bahkan pendidikan kebangsaan.
Ada sejumlah hal yang menurut Soetomo menjadi bekal santri bisa bersaing dalam mengisi ideologi kebangsaan. Di antaranya adalah pendidikan berspirit kebangsaan yang diajarkan, khususnya dalam hal cinta tanah air juga kerukunan antar umat. Selain itu santri juga dididik kesiapannya untuk menunjang keperluan umum di masa depannya.
Inilah mengapa dalam tulisannya berjudul “Polemik Kebudayaan” Soetomo memuji peran santri yang ada di setiap sektornya. Ia menulis:
“Bandingkan kegembiraan orang-orang yang hanya keluaran pesantren dengan orang didikan cara yang lazim sekarang. Orang akan heran bahwa mereka yang disebut pertama itu (yakni Pesantren) bisa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan-pekerjaan yang seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan anak-anak kita zaman sekarang hanya akan mencari pemburuhan (yakni sebagai pegawai administratif atau kuli), kebanyakan” (Ahmad Baso, Pesantren Studies 2a, Jakarta: Pustaka Afid, 2012, hal. 16)
Hal yang sama juga disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Ia lebih menekankan pendidikan bersitem asrama daripada sekolah buatan penjajah. Salah satu tulisannya pernah diberi judul “Systeem Pondok dan Asrama itulah Systeem Nasional”
“… Asrama rumah guru tidak Cuma rumah pengajaran agama saja, tetapi juga jadi rumah pengajaran rupa-rupa ilmu, yaitu: agama, ilmu falakia, ilmu hukum, bahasa, filsafat, seni, keprajuritan, dan lain-lain dari pengetahuan yang dulu sudah dipelajari kaum terpelajar kebanyakan,” tulis Ki Hajar.
Keterampilan inilah yang membuat lulusan pesantren bergerak di berbagai aspek kehidupan. Dalam bahasa Kyai Gontor, Hasan Abdullah Sahal, pesantren mengajarkan ilmu kehidupan pada santrinya sehingga mereka musta’mal (dipakai) di masyarakat.
Mungkin yang dimaksud Pak Gembul itu tidak banyak lulusan pesantren yang menduduki jabatan besar, kaya raya dan terkenal. Selain tidak sesuai fakta ini juga tidak sesuai dengan ideologi santri. Sebab –sebagaimana yang dungkapkan Kyai Imam Zarkasyi (trimurti Gontor)– orang besar itu justru yang mengajar di pelosok surau, bukan yang pangkatnya tinggi.
Pak Zar (sapaan akrab beliau) berpesan: orang besar bukanlah orang yang memiliki pangkat yang tinggi, harta yang melimpah, atau ilmu yang luas dikenal orang di mana-mana, akan tetapi orang yang ikhlash mengajar ngaji walau di surau kecil di daerah terpencil
Mungkin bagi sebagian orang, salah satunya pak Gembul, mengajar di surau kecil atau membina masyarakat desa bukanlah kerangka tegaknya peradaban.
Ini jelas keliru. Sebab peradaban Islam bukanlah kemajuan aspek tampilan atau jasmaninya saja. Namun lebih penting dari itu rohaninya. Peradaban Islam tidak hanya meninggikan masjidnya tapi juga merawat hati dan jiwa orang-orang yang bersujud di dalamnya. Inilah hakikat peradaban Islam.
Peradaban boleh megah dan tinggi gedungnya. Tapi kalau jiwa rakyatnya sakit, seperti cinta dunia, dengki, malas, tamak dan lain sebagainya, maka cepat atau lambat ia akan runtuh. Silakan baca sejarah-sejarah runtuhnya suatu peradaban. Itulah peran santri dalam membangun peradaban.
wallahu a’lam bi al-Shawab
Selamat Hari Santri
22 Oktober 2024
Oleh: Bana Fatahillah (Direktur SMP Pesantren At-Taqwa Depok)