DIRGAHAYU REPUBLIK INDONESIA

SUDAHKAH KITA BENAR-BENAR ‘MERDEKA’?

77 tahun yang lalu, tepatnya 17 Agustus 1945 merupakan hari bersejarah bagi negeri ini. Sebuah teks proklamasi kemerdekaan dibacakan secara lantang oleh Presiden Soekarno. Lantas menjadikan hari tersebut sebagai Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang senantiasa diperingati pada tiap tahunnya. Namun dalam memahami pengertian

‘kemerdekaan’, apakah kita sudah satu frekuensi? Pada kali ini kita akan sedikit mengkaji arti kemerdekaan dalam pandangan ulama terkemuka yang hidup dalam fase transformasi era kemerdekaan, yaitu Buya Hamka.

Dalam tafsir Al-Azhar, Buya Hamka menyatakan bahwa kemerdekaan adalah kebebasan untuk menyatakan yang haq itu haq dan yang bathil itu bathil, keberanian dalam menolak kemungkaran. Kebebasan itulah pokok pertama bagi seorang pemimpin untuk membawa kaumnya kepada keadaan yang lebih baik. Orang beriman yang menjadi pemimpin akan menjadi sook yang pemberani. Berani menghadapai segala macam bahaya di dalam hidup karena takut akan siksa Allah sesudah mati.

Dalam implementasinya, kebebasan seseorang itu terbatas pada kebebasan orang lain. Dan akhlaq lah penghubung yang mutlak antara satu dengan lainnya. Apabila telah kacau hubungan keduanya serta saling menonjolkan kepentingan satu antara lainnya, maka naikklah siapa kuat, bukan siapa yang benar. Dan apabila sesama manusia telah mementingkan siapa kuat itulah yang menjabat, dan yang lemah itulah akan jatuh, maka yang berlaku itu hukum rimba bukan hukum kemanusiaan.

Buya hamka juga menyatakan bahwa fungsi kemerdekaan adalah merdeka untuk melaksanakan syariat Islam dalam pangkuan negara, bagi pendudukya yang beragama Islam. Sebab menjalankan Syariat Allah dan Rasul, bagi orang muslim adalah bagian dari iman. Dan Islam bukan semata-mata hubungan dengan Allah, tetapi hubungan juga dengan masyarakat. Bukan hanya soal ibadah, namun juga soal bermasyarakat.

Jadi, selama Syariat islam belum dapat dilaksanakan pada negeri ini, meskipun negara ini telah merdeka, namun umat islam mash tetap merasa dalam suasana terjajah.

Jadi, sudahkah kita benar-benar ‘merdeka’ bila memihak kebathilan saja dibela, dan menyatakan haq malah dipenjara?

Anarkis dianggap nasionalis, Islamis malah dianggap teroris…

Naudzubillah.

Text by: @fikri.abdullah
Thanks to:
Smart Universal Division of Media

Sharing is caring

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *