Memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW memberikan kesempatan bagi kita untuk merenungi betapa pentingnya sosok beliau sebagai uswah hasanah (teladan yang baik). Sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-Ahzab: 21, “Laqad kāna lakum fī rasụlillāhi uswatun ḥasanah…,” Rasulullah adalah contoh yang sempurna bagi umat manusia, tidak hanya dalam hal kepemimpinan, tetapi juga dalam aspek-aspek kehidupan yang lebih kecil seperti keluarga. Rasulullah hadir sebagai pembimbing yang adil dan beradab, yang mampu memimpin masyarakat dalam keadaan damai maupun dalam dinamika pluralitas yang kompleks. Keteladanan beliau adalah legacy yang abadi, dan relevansinya masih dapat kita rasakan hingga saat ini, terutama dalam menghadapi tantangan dunia modern yang semakin beragam.
Salah satu keteladanan paling mendasar dari Rasulullah adalah cara beliau berpikir yang didasarkan pada wahyu, bukan hawa nafsu. Ini adalah konsep berpikir profetik, sebagaimana dijelaskan dalam QS. An-Najm: 3-4, “Dan tidaklah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Alquran itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” Cara berpikir yang berlandaskan wahyu ini melahirkan pemikiran yang jernih dan bersih, atau dalam istilah Islam disebut sebagai ‘aqlu as-salim (akal yang selamat). Ketika seseorang berpikir dengan pendekatan wahyu, ia terhindar dari pengaruh nafsu amarah, ego, atau kepentingan pribadi yang sering kali menjerumuskan. Di era modern ini, ketika manusia banyak dibimbing oleh hasrat material dan individualisme, berpikir profetik menjadi solusi untuk mencapai kejernihan pikiran yang membawa pada kebaikan universal.
Tidak hanya dalam cara berpikir, Rasulullah juga mengajarkan kepada kita pentingnya menyampaikan ajaran Islam dengan hikmah (kebijaksanaan) dan mau’idhoh hasanah (nasihat yang baik). Hal ini ditegaskan dalam QS. An-Nahl: 125, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” Dakwah yang disampaikan oleh Rasulullah selalu didasari oleh kelembutan hati dan cinta kasih, yang membuat pesan-pesan Islam mudah diterima oleh semua kalangan. Dakwah adalah komunikasi hati ke hati, dan Rasulullah memahami betul bahwa cara paling efektif untuk menyampaikan kebenaran adalah dengan pendekatan yang penuh kelembutan, bukan dengan kekerasan atau paksaan. Ini adalah pelajaran penting bagi umat Islam di era sekarang, di mana dialog antaragama dan lintas budaya semakin krusial.
Rasulullah juga menjadi teladan utama dalam hal akhlak mulia. Beliau pernah bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad, Baihaqi, dan Malik). Akhlak Rasulullah yang agung juga ditegaskan oleh Allah dalam QS. Al-Qalam: 4, “Wa innaka la’ala khuluqin `azhim,” yang artinya “sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat agung.” Akhlak mulia adalah salah satu pilar utama dalam kehidupan seorang muslim, dan melalui akhlak inilah, Rasulullah membimbing umatnya menuju jalan kebenaran. Di tengah maraknya problem sosial, baik yang berasal dari internal umat Islam maupun dari eksternal, akhlak al-karimah (akhlak yang mulia) menjadi jawaban. Bukannya berdebat atau bertikai tanpa tujuan, umat Islam diharapkan meniru teladan Rasulullah dengan bertindak bijak dan memberikan solusi yang maslahat.
Dalam menghadapi pluralitas, Rasulullah adalah contoh utama dalam bersikap arif dan bijaksana. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah memimpin umat Islam di Makkah dan Madinah dengan berbagai tantangan dari pihak-pihak yang berseberangan. Meskipun umat Islam sering kali dikhianati, seperti pelanggaran perjanjian oleh Bani Qainuqa dan pengingkaran Perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah tetap menjaga komitmen untuk perdamaian. Salah satu momen puncak dari kebijakan toleransi Rasulullah adalah saat Fath Makkah (penaklukan Mekkah), di mana beliau memimpin pasukan Islam tanpa menumpahkan darah. Peristiwa ini menjadi contoh bagaimana toleransi dan perdamaian merupakan nilai utama dalam Islam, bahkan dalam kondisi kemenangan sekalipun.
Akhirnya, keteladanan Rasulullah dalam totalitas perjuangannya adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Ketika kaum Quraisy mencoba menekan beliau agar menghentikan dakwah Islam, Rasulullah dengan tegas menjawab, “Wahai pamanku, demi Allah, andaikan mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan risalah agama ini, hingga Allah memenangkannya atau aku binasa karenanya, maka aku tidak akan meninggalkannya.” Keteguhan hati Rasulullah ini menunjukkan betapa besar komitmen beliau terhadap perjuangan menegakkan agama Allah. Totalitas ini menjadi teladan bagi kita semua untuk selalu teguh dalam memperjuangkan kebenaran, meskipun harus menghadapi berbagai rintangan dan godaan duniawi.
Melalui lima aspek keteladanan ini—berpikir profetik, berdakwah dengan hikmah, berakhlak mulia, arif dalam pluralitas, dan totalitas dalam perjuangan—Rasulullah SAW telah memberikan panduan abadi bagi umatnya. Di tengah dunia modern yang penuh dengan kompleksitas, uswah hasanah dari Nabi Muhammad SAW tetap relevan sebagai kompas moral dan spiritual bagi umat Islam untuk terus melangkah di jalan kebenaran. Semoga peringatan Maulid Nabi ini menjadi momen untuk memperdalam cinta dan teladan kita terhadap beliau, serta mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag, M.Pd