Al-Quran merupakan petunjuk bagi seluruh manusia (hudan linnās), pengingat bagi seluruh ciptaan (dzikrā lil’alamīn) juga peringatan bagi mereka (liyakūna lil’alamīna nadziirā).
Manusia memiliki daya pikir dan daya rasa, atau akal dan hati. Yang pertama mendorong manusia untuk memberikan arguemntasi untuk mendukung pandangannya. Sedangkan yang kedua untuk mengekspresikan keindahan dan mengembangkan imajinasi.
Dalam berbahasa, baik menulis atau berbicara, sulit sekali memuaskan kedua daya itu. Hebatnya al-Quran mampu menggabungkan hal tersebut. Inilah mengapa Abdullah Dirraz menjadikan ini satu di antara aspek kemukjizatan al-Quran.
Coba baca misalnya ayat al-Quran berikut:
يٰٓاَيُّهَا الْاِنْسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيْمِۙ الَّذِيْ خَلَقَكَ فَسَوّٰىكَ فَعَدَلَكَۙ فِيْٓ اَيِّ صُوْرَةٍ مَّا شَاۤءَ رَكَّبَكَۗ
“Wahai manusia, apakah yang telah memperdayakanmu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu Yang Mahamulia, yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)-mu seimbang? Dalam bentuk apa saja yang dikehendaki, Dia menyusun (tubuh)-mu.” (Qs. Al-Infithar: 6-8)
Kalimat “Wahai Manusia” benar-benar menyentuh hati siapapun yang mau merenunginya. Bayangkan seorang pemimpin idola Kalian yang banyak berjasa sedang memanggil. Tentu hati senang dan tersentuh. Jika itu manusia, maka bagaimana dengan panggilan Tuhan semesta Alam hendak bertanya alasan kelalaian kita atas-Nya.
Setelah hati yang disentuh, Allah ingin mengajak manusia kita untuk berfikir bahwa kalian semua dulunya tidak ada kemudian ada. Lihatlah betapa sempurnanya tubuh Kalian saat ini. Mampu mendengar, berbicara, berjalan menikmati setiap nikmat yang ada. Maka, apakah pantas Kalian semua berpaling dari-Ku.
Jika dalam hidup ini Anda memiliki orang yang begitu berperan. Dari membiayai tempat tinggal, makan, pendidikan, bahkan apapun kebutuhannya dicukupi. Sebagai manusia yang berkal, mungkinkah, atau layakkah orang tersebut tidak membalas kebaikan itu, atau paling sedikitinya tidak melupakannya? Jika hal demikian berlaku sesama manusia, maka apalagi Allah Swt. Bukankah Dia meng-adakanmu dan menyempurnakanmu.
Contoh lainnya bisa dilihat pada ayat:
وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ اِحْسَانًا ۗحَمَلَتْهُ اُمُّه كُرْهًا وَّوَضَعَتْهُ كُرْهًا ۗوَحَمْلُه وَفِصٰلُه ثَلٰثُوْنَ شَهْرًا ۗ
“Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan…”
Perhatikan ayat tersebut. Lihatlah bagaimana perintah berbuat baik kedua orang tua dibarengi dengan argumen logika yang dimulai dengan mengingatkan sang anak tentang susah payah ibu dalam mengandung, melahirkan dan menyusui anaknya. Kemudian di celah peringatan tersebut, ditetapkannya masa kehamilan dan penyusuan selama tiga puluh bulan.
Selanjutnya perintah itu dikaitkan dengan “sentuhan” batin, yaitu mengingatkan manusia bahwa seseorang yang telah dewasa pasti mengharapkan agar anak-anaknya dapat berbakti kepadanya. Inilah mengapa lanjutan ayat tersebut disiapkan satu doa agar seorang anak tidak lupa dengan kebaikan orang tuanya juga kesalehan pada keturunannya.
“…Sehingga, apabila telah dewasa dan umurnya mencapai empat puluh tahun, dia (anak itu) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah petunjuk agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku, dapat beramal saleh yang Engkau ridai, dan berikanlah kesalehan kepadaku hingga kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertobat kepada-Mu dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim.” (Qs. Al-Ahqaf [46]: 15)
Ketika berbicara hukum pun al-Quran terkadang menyentuh akal dan jiwa manusia sehingga tidak terkesan “kaku” sebagaimana redaksi ahli hukum. Coba perhatikan ayat tentang puasa.
Di sana, Allah tidak mengatakan “Tuhan Mewajibkan kepada kamu” tapi “diwajibkan kepadamu”. Ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa, jika telah mengetahui faidah puasa, maka manusia sendirilah yang akan mewajibkan pada dirinya. Dan hendaklah mereka sadar bahwa kewajiban ini bukanlah sesuatu yang baru melainkan juga “orang-orang sebelummu”. Dan untuk menyampaikan lamanya puasa al-Quran menggunakan “beberapa hari tertentu” sehingga terkesan ringan dengan catatan mereka yang sakit atau dalam perjalanan maka tidak harus berpuasa asal menggantikannya sebnyak hari tidak berpuasa itu. (Mukjizat al-Quran, hal. 133)
Demikianlah al-Quran menyentuh akal dan jiwa para pembacanya. Terkait ini Abbas Aqqad, seorang filsuf ternama Mesir berkata bahwa tidak hanya hati dan perasaan, al-Quran turut “menyerukan” (yukhaatib) akal. Berfikir adalah satu di antara pintu hidayah yang dengannya terwujudnya keimanan. dalam al-Quran dikatakan:
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Aku hendak menasihatimu dengan satu hal saja, (yaitu) agar kamu bangkit karena Allah, baik berdua-dua maupun sendiri-sendiri, kemudian berfikirlah (perihal Nabi Muhammad)” (Qs. Saba [34]: 46)
“Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berpikir” (Qs. Al-Baqarah [2]: 219)
Wallahu a’lam bi al-Shawab.
Divisi: Pendidikan
Author: Bana Fatahillah
Sumber referensi: Beberapa buku