Coba perhatikan. Di tengah pembahasan puasa dalam al-Quran, Allah menyisipkan satu ayat tentang pentingnya berdoa. Allah berfirman:
وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ
“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang Aku, sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Maka, hendaklah mereka memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Fadhil Al-Samira’i seorang ahli dan pakar bahasa Arab dari Baghdad menjelaskan bahwa hal tersebut karena orang puasa memiliki doa yang tidak tertolak. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwasanya ada tiga orang yang doanya tidak tertolak; (i) orang yang berpuasa (ii) orang yang terzalimi (iii) musafir.
Sebagai pengampu mata Kulih Nahwu dan Ta’bir al-Qur’aniy (ekspresi Al-Quran) di Universitas Sharjah, Al-Samira’i melihat bahwa tidak tertolaknya doa orang puasa bukan hanya karena letaknya yang berada di tengah-tengah ayat puasa. Namun karena secara kebahasaan ayat tersebut mengatakan demikian. Inilah yang akan kita teliti bersama.
Jawaban Tanpa Perantara
Sebelum mengurai aspek kebahasaan, perlu diketahui bahwa ayat ini adalah satu-satunya ayat pertanyaan (wa yas’alūnaka) yang jawabannya langsung ditanggung oleh Allah. Sebab umunya, ayat seperti ini tidak langsung dijawab, melainkan Allah titipkan Nabi Muhammad untuk menyampaikannya, dengan redaksi قُلْ, semisal:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِۗ قُلْ فِيْهِمَآ – وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ ۗ قُلْ هُوَ اَذًى – وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّيْ نَسْفًا ۙ – وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ
Berbeda dengan ayat doa di atas yang tidak disertai kata qul. Ini seakan menandakan, siapa yang bersungguh-sungguh ingin mengenal-Nya, meminta kepada-Nya, Allah akan menjaminnya dan menjawabnya secara langsung tanpa perantara.
Doa yang Mustajab
Kembali pada uraian ayat doa bahwa mustajabnya doa orang yang puasa bukan hanya karena ayat ini diletakan di tengah ayat puasa. Namun karena beberapa aspek bahasa diantaranya:
Pertama, dalam ayat tersebut Allah tidak mengikat pengabulannya dengan sebuah kehendak. Allah tidak mengatakan “in sya’a rabbuka” atau “wa law sya’a rabbuka” (jika Tuhanmu berkehendak), sebagaimana dalam surat Al-An’am, misalnya:
بَلْ اِيَّاهُ تَدْعُوْنَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُوْنَ اِلَيْهِ اِنْ شَاۤءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُوْنَ ࣖ
Tidak! Hanya kepada-Nya kamu menyeru. Maka, jika Dia menghendaki, Dia hilangkan apa (bahaya dan siksa) yang (karenanya) kamu memohon kepada-Nya, dan (karena dahsyatnya keadaan) kamu tinggalkan apa yang kamu persekutukan (dengan Allah). (Qs. Al-An’am: 40)
Ketidak beradaan masyi’ah ini –menurut Al-Samira’i—merupakan tanda kuat bagaimana doa orang yang berpuasa dijamin pengabulannya oleh Allah. Tentunya dengan syarat ia berdoa.
Kedua, dalam ayat tersebut Allah mengedepankan jawab syaratnya (ujību da’wat al-Dā’i) dari perangkat syaratnya (idzā da’āni). Sebab harusnya kalimat itu berbunyi idzaa da’āni, ujībuhu (jika ia berdoa, maka Aku akan kabulkan).
Ini mengisyaratkan bahwa Allah seakan ingin menegaskan pengabulan janji-Nya, yaitu mengabulkan doa para hamba-Nya yang berdoa.
Anda tentu bisa membedakan antara dua perkataan berikut, (a) akan saya buatkan kopinya jika Anda meminta, dengan (b) jika Anda meminta, maka akan saya buatkan kopinya. Kalimat pertama memiliki unsur penekanan yang lebih.
Ketiga, penggunaan perangkat syarat yaitu kata (إذَا) bukan (إِنْ) dalam ayat tersebut. Pertanyaannya, apa perbedaan keduanya?
idzā dipakai dalam hal yang pasti terjadi atau sering terjadi. Inilah mengapa semua kejadian hari akhir memakai idza yang menunjukkan kepastian. (idza waqa’at al-Waqi’ah, idza al-Samaa’ Insyaqqats, dll-nya), begitupun ayat wudhu (al-Maidah: 6) juga ayat hutang (al-Baqarah: 282) yang menunjukan sering atau banyak terjadi. Coba perhatikanlah!
Adapun in umumnya dipakai dalam hal-hal yang kemungkinan tidak terjadi, yang diragukan, yang jarang, yang mustahil. Sebagai contoh dalam hal mustahil, atau kemungkinan terjadi, Allah berfirman:
قُلْ اِنْ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ وَلَدٌ ۖفَاَنَا۠ اَوَّلُ الْعٰبِدِيْنَ
Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika benar Tuhan Yang Maha Pengasih mempunyai anak, akulah orang pertama yang menyembah (anak itu).
قَالَ لَنْ تَرٰىنِيْ وَلٰكِنِ انْظُرْ اِلَى الْجَبَلِ فَاِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَه فَسَوْفَ تَرٰىنِيْۚ
Dia berfirman, “Engkau tidak akan (sanggup) melihat-Ku, namun lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap di tempatnya (seperti sediakala), niscaya engkau dapat melihat-Ku.”
Realitanya Allah tidak memiliki anak, pun dengan gunung yang pada kala itu tidak menetap di tempatnya, alias hancur. Ini semua memakai kata “in”. Lagi-lagi ini merupakan indikasi kepastian terijabahnya doa orang berpuasa.
Hanya Kepada-Nya
Selain hendak menekankan dan memastikan pengabulan doa seorang hamba, ada hal lain yang ingin ditegaskan, yaitu perintah berdoa. Ini bisa dilihat dari redaksi “idzaa da’ani”
Seakan Allah ingin hambanya meminta dan berdoa kepada-Nya. Bukan yang lainnya. Namun bukan artinya Allah butuh akan doa mereka. Namun sebagai penekanan bahwa ialah satu-satunya tempat meminta.
Inilah mengapa di sejumlah ayat Allah murka kepada mereka yang tidak meminta dan berdoa kepada-Nya.
“Sungguh, Kami telah mengutus (para rasul) kepada umat-umat sebelum engkau, (tetapi mereka membangkang,) kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kemelaratan dan kesengsaraan, agar tunduk merendahkan diri (kepada Allah). (Qs. Al-An’am: 42)
Dalam sebuah syair juga dikatakan:
لاَ تَسْأَلَنَّ بُنَيَّ آدَمَ حَاجَةً * وَسَلِ الَّذِي أَبوَابُه لاَ تُحْجَبُ
اللهُ يَغْضَبُ إِن تَرَكْتَ سُؤَالَهُ * وَبُنَيَّ آدَمَ حِينَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ
“Jangan engkau meminta sesuatu kepada manusia, namun mintalah kepada yang “pintunya” tidak tertutup. Allah murka jika kalian tidak meminta-Nya (berdoa), sebaliknya manusia akan marah jika ia dimintai”
Doamu Belum Dikabulkan?
Kendati menekankan doa yang tidak ditolak, ada hal penting yang harus kita camkan, yaitu memaknai pengabulan itu sebagaimana pesan baginda Nabi:
“Tidaklah seorang muslim berdoa dengan suatu doa yang tidak mengandung dosa dan tidak memutus persaudaraan melainkan Allah akan berikan salah satu dari tiga hal, (Allah) akan kabulkan doanya atau disimpan baginya di hari akhirat atau dipalingkan dari kejelekan semisal darinya”
Allah memang menekankan pengabulan itu. Namun saat hal tersebut belum datang, kita jangan pernah berputus asa. Ibnu Athaillah mengatakan:
لا يكن تأخر عمد العطاء مع الإلحَاحِ في الدعاء موجبًا لِيَأسِكَ، فَهُوَ ضَمِنَ لَكَ الإجَابَة فيما يختار لَكَ لا فيما تختار لنَفْسِكَ وفي الوقت الذي يريد لا في الوقت الذي تريد
“Ditundanya pemberian dari Allah sementara engkau telah menggebu-gebu dalam berdoa, jangan menjadikanmu berputus asa. Allah menjamin mengabulkan doa untukmu sesuai pilihanNya, bukan pilihanmu. Di waktu yang Dia kehendaki, bukan di waktu yang kau kehendaki”
Dan di antara syarat pengabulan doa, kita harus memperhatikan “kehalalan” apa yang kita konsumsi dan kita miliki. Rasul bersabda, “Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik (thayyib), tidak menerima kecuali yang baik (thayyib)” Nabi pun pernah berpesan kepada Sa’ad bin Abi Waqqash: Wahai Sa’ad perindahlah makanananmu maka Allah akan mengabulkan doamu” (Ya Sa’ad Athib Mat’amak takun mustajaab AL-Dakwah).
Wallahu a’lam bi al-Shawab
Divisi: Pendidikan
Author: Bana Fatahillah
Sumber referensi: Beberapa buku